Etika Dakwah di Media Sosial: Panduan Gen Z Jadi Digital Da’i

Di era di mana For You Page (FYP) TikTok dan Instagram Reels memiliki jangkauan lebih luas daripada mimbar masjid, fenomena “Digital Da’i” meledak. Pemuda-pemudi dengan semangat keagamaan tinggi berlomba-lomba membuat konten untuk menyebarkan nilai Islam. Niatnya mulia: berdakwah. Namun, medan digital memiliki jebakannya sendiri.

Kita sering melihat konten dakwah yang viral, namun alih-alih menyejukkan, isinya justru menghakimi, merendahkan, atau bahkan memicu perdebatan kusir yang penuh kebencian. Ini memunculkan pertanyaan kritis: Di mana letak etika dakwah di media sosial? Apakah viralitas harus mengorbankan adab?

Artikel ini adalah panduan komprehensif bagi Anda, pemuda Islam, yang ingin mengambil peran sebagai da’i digital namun tetap berpegang teguh pada prinsip dan etika Islam.

Fenomena Da’i Digital: Antara Peluang dan Jebakan

Menjadi seorang digital da’i menawarkan peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hitungan detik, satu video pendek Anda bisa menjangkau jutaan orang, menginspirasi mereka untuk menjadi lebih baik. Ini adalah potensi amal jariyah yang luar biasa.

Namun, jebakannya sama besarnya. Algoritma media sosial menyukai sensasi, drama, dan kontroversi. Akibatnya, banyak pembuat konten yang (sadar atau tidak) tergelincir:

  • Jebakan Riya’: Fokus bergeser dari “menyampaikan pesan Allah” menjadi “menambah followers dan likes“.
  • Jebakan ‘Hakim’: Merasa paling benar dan mudah menyalahkan (ta’yin) individu atau kelompok lain di ruang publik.
  • Jebakan Konten Reaktif: Membuat konten hanya untuk merespons drama atau isu viral tanpa pendalaman ilmu yang cukup.

Di sinilah etika dakwah di media sosial menjadi fondasi yang tidak bisa ditawar.

Panti asuhan yasint

Mengapa Etika Adalah Fondasi Utama Dakwah?

Dakwah secara harfiah berarti “mengajak” atau “menyeru”. Bukan “memaksa”, “menghakimi”, atau “mempermalukan”. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125)

Ayat ini adalah inti dari etika dakwah di media sosial. Media sosial adalah ruang publik yang sangat beragam. Audiens Anda bukan hanya orang yang sudah “mengaji”, tapi juga mualaf, non-Muslim, atau Muslim yang masih jauh dari agama. Cara penyampaian yang salah bisa membuat mereka “lari” dari Islam, bukan “jatuh cinta” padanya.

5 Pilar Etika Dakwah di Media Sosial untuk Gen Z

Untuk menjadi da’i digital yang efektif dan berkah, ada lima pilar etika yang wajib dipegang teguh.

1. Niat yang Lurus (Ikhlas karena Allah)

Sebelum menekan tombol “rekam” atau “posting”, tanyakan pada diri sendiri: “Saya membuat konten ini untuk siapa?” Apakah untuk Allah, atau untuk validasi manusia? Niat adalah pembeda antara konten yang menjadi pemberat timbangan amal dan konten yang sia-sia. Keikhlasan akan menjaga Anda dari godaan riya’ dan sensasi.

2. Berilmu Sebelum Berucap (Kompetensi & Tabayyun)

Jebakan terbesar da’i digital adalah berbicara di luar kapasitas ilmunya. Hanya karena sebuah kutipan terdengar Islami, bukan berarti itu valid.

  • Tabayyun (Verifikasi): Pastikan setiap hadits, tafsir, atau kisah yang Anda sampaikan memiliki sumber yang jelas dan shahih. Jangan “asal copy-paste“.
  • Akui Keterbatasan: Jika tidak tahu, katakan “Wallahu a’lam” (Allah lebih tahu). Jangan memaksakan diri menjawab semua pertanyaan. Ini adalah bagian vital dari etika dakwah di media sosial.

3. Santun dalam Penyampaian (Qaulan Layyina)

Dakwah adalah tentang kelembutan. Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh Gen Z, boleh pakai slang, tapi harus tetap santun dan jauh dari kata-kata kotor, merendahkan, atau kasar.

Ingatlah kisah Nabi Musa yang diperintahkan berbicara lembut (Qaulan Layyina) kepada Fir’aun yang jelas-jelas dzalim. Apalagi kepada sesama Muslim yang mungkin hanya keliru?

4. Memahami Konteks Audiens (Mad’u)

Anda tidak sedang berceramah di pengajian khusus. Anda berbicara di FYP yang ditonton oleh jutaan orang dengan latar belakang berbeda.

  • Fokus pada Prioritas: Dahulukan konten tentang akhlak, tauhid, dan ibadah dasar (shalat, puasa) daripada langsung terjun ke perdebatan khilafiyah (perbedaan pendapat fikih) yang rumit.
  • Jangan Menghakimi: Alih-alih berkata, “Kalian yang pacaran itu pendosa!”, lebih baik katakan, “Ini lho indahnya menjaga kesucian diri dalam Islam.” Ajak, bukan pukul.

5. Bijak Menghadapi Perbedaan (Anti-Debat Kusir)

Komentar negatif pasti akan datang. Haters, pemfitnah, atau orang yang sekadar ingin berdebat akan menguji kesabaran Anda. Etika dakwah di media sosial menuntut Anda untuk bijak.

Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau menjamin rumah di surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berada di pihak yang benar. Media sosial bukanlah tempat untuk debat kusir. Jika ada kritik membangun, terima. Jika ada hujatan, gunakan fitur mute, block, atau hapus komentar. Energi Anda terlalu berharga untuk dihabiskan meladeni kebencian.

Kesimpulan: Jadilah Da’i yang Merangkul, Bukan Memukul

Menjadi digital da’i adalah tanggung jawab besar. Jari Anda mewakili wajah Islam di dunia maya. Pilihan ada di tangan Anda: menjadi da’i yang viral karena sensasi dan kebencian, atau menjadi da’i yang viral karena menyejukkan dan membawa hikmah.

Pegang teguh etika dakwah di media sosial. Utamakan keikhlasan, bekali diri dengan ilmu, sampaikan dengan santun, dan fokuslah pada solusi, bukan sekadar menghakimi masalah. Itulah cara Gen Z Muslim mengambil peran dakwah yang sesungguhnya: menyebarkan Islam sebagai Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh alam).

https://yasintpasuruan.org/product/infaq-biaya-operasional-panti/: Etika Dakwah di Media Sosial: Panduan Gen Z Jadi Digital Da’i