
Setiap tanggal 22 Oktober, gema takbir dan semangat kebangsaan kembali membahana di seluruh penjuru Indonesia. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Santri Nasional, sebuah momen untuk menghormati peran besar kaum santri dan para ulama dalam perjuangan kemerdekaan bangsa.
Peringatan ini bukan sekadar perayaan seremonial. Bagi bangsa ini, 22 Oktober adalah pengingat tentang sebuah pengorbanan suci. Memahami sejarah dan makna Hari Santri berarti kita menyelami kembali akar perjuangan yang seringkali terlupakan dalam buku-buku sejarah formal.
Artikel ini akan mengupas tuntas latar belakang sejarah penetapan Hari Santri, esensi dari Resolusi Jihad, dan relevansi makna perjuangan santri di era modern yang serba digital.
Apa Itu Hari Santri Nasional?
Hari Santri Nasional adalah hari besar yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengakui dan menghargai jasa para santri dan ulama dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia.
Penetapan ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Tanggal 22 Oktober dipilih bukan tanpa alasan; ia adalah penanda dari sebuah peristiwa sejarah yang fundamental bagi tegaknya republik ini.
Akar Sejarah Hari Santri: Kobaran Api Resolusi Jihad
Untuk memahami mengapa 22 Oktober begitu istimewa, kita harus mundur ke tahun 1945, hanya beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Situasi Genting Pasca-Kemerdekaan
Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, ancaman belum berakhir. Tentara Sekutu (Inggris) yang diboncengi oleh NICA (Belanda) datang kembali dengan niat untuk menjajah ulang Indonesia.
Situasi di Surabaya saat itu sangat genting. Rakyat dilanda kebingungan antara semangat merdeka dan ancaman persenjataan modern pasukan asing. Di sinilah peran vital para kiai dan santri dimulai.
Lahirnya Fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945
Merespons situasi ini, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), memanggil para konsul NU se-Jawa dan Madura untuk berkumpul di Surabaya.
Pada tanggal 22 Oktober 1945, dari pertemuan tersebut, lahirlah sebuah fatwa monumental yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad fi Sabilillah”. Fatwa ini bukanlah seruan perang biasa; ia adalah penegasan teologis yang mengubah jalannya sejarah.
Isi utama dari Resolusi Jihad tersebut menegaskan bahwa:
- Hukum membela tanah air dan kemerdekaan Indonesia adalah fardhu ‘ain (wajib bagi setiap individu Muslim).
- Perjuangan ini adalah jihad fi sabilillah (perjuangan di jalan Allah).
- Musuh (penjajah) yang datang dianggap sebagai kaum kafir harbi yang wajib diperangi.
Dampak Resolusi Jihad: Bahan Bakar Pertempuran 10 November
Resolusi Jihad ini dengan cepat disebarluaskan melalui masjid, mushala, dan jaringan pesantren. Fatwa ini laksana bahan bakar yang menyulut semangat juang para santri dan arek-arek Suroboyo.
Pekik “Allahu Akbar!” yang sering kita dengar dari pidato Bung Tomo sejatinya adalah gema dari Resolusi Jihad tersebut. Fatwa ini memberikan legitimasi agama yang kuat bagi rakyat untuk bertempur habis-habisan.
Puncaknya adalah Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Ribuan kiai dan santri dari berbagai penjuru Jawa Timur turun ke medan laga, bersenjatakan apa adanya, melawan tentara Sekutu yang bersenjata lengkap. Pertempuran ini menjadi simbol perlawanan nasional yang paling heroik dan kini kita kenal sebagai Hari Pahlawan.
Tanpa Resolusi Jihad pada 22 Oktober, semangat perlawanan di 10 November mungkin tidak akan sebesar itu. Inilah inti dari sejarah dan makna Hari Santri.
Menggali Makna Hari Santri di Era Modern
Penetapan Hari Santri bukan hanya untuk bernostalgia. Ada makna mendalam yang sangat relevan dengan tantangan yang kita hadapi hari ini.
1. Penghargaan atas Jasa yang Terlupakan
Selama ini, peran santri dan pesantren seringkali dikesampingkan dalam narasi sejarah nasional. Hari Santri adalah bentuk pengakuan resmi negara bahwa kaum sarungan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari pilar-pilar bangsa.
2. Peneguhan Jati Diri Santri
Hari Santri adalah momen peneguhan identitas. Santri adalah sosok yang tidak hanya menguasai ilmu agama (tafaqquh fiddin), tetapi juga memiliki komitmen kebangsaan yang kokoh.
Pesantren telah lama mengajarkan adagium Hubbul Wathan minal Iman (Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman). Ini membuktikan bahwa spiritualitas Islam dan nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang sama, bukan sesuatu yang harus dipertentangkan.
3. Santri sebagai Penjaga Islam Wasathiyyah
Di tengah maraknya arus ekstremisme dan radikalisme, makna Hari Santri menjadi semakin penting. Pesantren adalah benteng utama yang mengajarkan Islam Wasathiyyah (moderat), toleran (tasamuh), dan seimbang (tawazun).
Santri dididik untuk menghargai perbedaan dan menjaga keutuhan NKRI serta Pancasila. Mereka adalah garda terdepan dalam melawan ideologi yang dapat merusak persatuan bangsa.
Relevansi Peran Santri dalam Pembangunan Bangsa
Jika dulu santri berjihad dengan bambu runcing, jihad santri di era modern telah bertransformasi ke berbagai bidang.
Jihad Intelektual dan Pendidikan
Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia yang telah terbukti melahirkan jutaan sumber daya manusia unggul. Peran santri hari ini adalah berjihad melawan kebodohan.
Mereka mengisi pos-pos penting di pemerintahan, akademisi, dan dunia profesional. Mereka membuktikan bahwa lulusan pesantren mampu bersaing secara global tanpa kehilangan identitas keislaman dan keindonesiaannya.
Jihad Ekonomi dan Kemandirian
Pesantren secara tradisional mengajarkan nilai kemandirian (istiqlal). Banyak santri kini terjun sebagai santripreneur, mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berbasis komunitas.
Mereka berjuang untuk kemandirian ekonomi umat, menciptakan lapangan kerja, dan berkontribusi pada ekonomi nasional. Ini adalah bentuk jihad melawan kemiskinan dan ketergantungan.
Jihad Digital Melawan Hoaks
Tantangan terbesar saat ini adalah perang informasi di dunia maya. Santri modern, atau sering disebut “santri milenial”, kini mengambil peran penting dalam jihad digital.
Mereka aktif memproduksi konten-konten dakwah yang positif, menyejukkan, dan mencerahkan. Mereka juga menjadi garda terdepan dalam mengklarifikasi hoaks dan narasi negatif tentang agama yang beredar di media sosial.
Bagaimana Kita Seharusnya Memaknai Hari Santri?
Sebagai masyarakat, ada beberapa cara untuk turut menghayati peringatan penting ini:
- Meneladani Spirit Perjuangan: Tanamkan kembali semangat Hubbul Wathan minal Iman. Semangat jihad di masa kini adalah jihad untuk bekerja keras, jujur, dan berkontribusi positif bagi lingkungan sekitar.
- Menghormati Kiai dan Ulama: Para ulama adalah pewaris para nabi dan guru bangsa. Menghormati mereka dan mengikuti bimbingan mereka adalah cara kita menghargai warisan perjuangan.
- Mendukung Ekosistem Pesantren: Berikan dukungan nyata bagi lembaga-lembaga pendidikan pesantren agar terus bisa mencetak generasi penerus yang berakhlak mulia dan cinta tanah air.
Kesimpulan
Hari Santri Nasional bukan hanya milik kaum santri. Ia adalah milik seluruh bangsa Indonesia. Peringatan ini adalah pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini ditebus dengan darah dan keringat para pahlawan, termasuk di dalamnya para kiai dan santri.
Memahami sejarah dan makna Hari Santri adalah kewajiban kita untuk tidak melupakan sejarah. Ia mengajarkan kita tentang ketulusan pengorbanan, kekuatan iman, dan cinta tanpa syarat kepada tanah air. Selamat Hari Santri Nasional!





